Nomor: SP. 613/HUMAS/PP/HMS.3/11/2018
Denpasar, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kamis, 1 November 2018. Pemerintah berkomitmen untuk melindungi sumber daya alam dan ekosistem di Indonesia, agar fungsi-fungsi ekologisnya terpelihara sehingga dapat memberikan manfaat bagi keberlangsungan makhluk hidup. Sebagai implementasinya, KLHK tengah merancang peraturan pemerintah tentang Sistem Penyangga Kehidupan (SPK), menindaklanjuti amanat Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.
SPK adalah proses alami dari berbagai unsur hayati dan non hayati, dalam suatu wilayah tertentu, yang menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup, dan pembangunan berkelanjutan. Dalam konsultasi publik Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tersebut di Denpasar, Bali (31/10), Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Wiratno, menyampaikan pentingnya koordinasi multipihak dalam penyusunan RPP, serta peran serta masyarakat dalam pengelolaan perlindungan SPK.
"Dalam RPP ini perlu diperhatikan beberapa hal antara lain, penetapan wilayah SPK, siapa pengelolanya, bagaimana deliniasinya, serta pembinaannya. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di wilayah itu menjadi sangat penting, diharapkan ada peran masyarakat dalam wilayah SKP, karena banyak inisiatif bagus dari masyarakat yang dapat diakomodir," ujar Wiratno menyampaikan arahannya.
Wiratno juga menekankan pentingnya peran keilmuan dalam cara baru kelola kawasan konservasi. Dirinya minta agar jajarannya memperkaya kajian-kajian teknis terkait potensi keanekaragaman hayati di kawasan konservasi, sehingga dapat membuktikan manfaat kawasan konservasi bagi masyarakat.
Dari delapan PP yang harus diterbitkan sebagai penjabaran UU No.5/1990, baru lima PP yang telah disahkan, yaitu tentang Perburuan Satwa Buru; Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam; Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam; Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa; dan Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar. Adapun tiga RPP lainnya yaitu terkait SPK, Peran Serta Masyarakat, dan Cagar Biosfer sedang disusun oleh KLHK bersama LIPI.
Sebagai ketua tim penyusunan RPP Cagar Biosfer, Prof. Eny Sudarmono Wati dari LIPI juga menyampaikan dukungannya terhadap penyusunan tiga RPP ini. "Kita perlu tiga RPP ini, termasuk konsep cagar biosfer, hal ini untuk memperkuat fungsi cagar biosfer serta sebagai upaya mengatasi permasalahan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistem, yang berdampak pada degradasi keanekaragaman hayati dan kemunduran kualitas lingkungan," jelasnya.
Berdasarkan hasil sidang Man and the Biosphere Programme International Co-ordinating Council (MAB-ICC), ke-30 di Palembang, bulan Juli lalu, ditetapkan sebanyak 14 Cagar Biosfer di Indonesia, dengan total luas 25.015.686,75 Ha. Selain itu, Indonesia juga memiliki 35 Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) hingga kini, dengan luas kurang lebih 700.000 Ha, yang terdiri dari 22 Taman Kehati, 5 KEE mangrove, 2 KEE Karst, 6 KEE Koridor.
Sementara itu, Prof. Djoko Marsono dari UGM, yang juga turut hadir sebagai narasumber, berpendapat, pengelolaan sumber daya alam (SDA) harus berbasiskan ekosistem, agar terwujud keseimbangan dalam lingkungan. "Janji ekosistem adalah keseimbangan, SDA jika berbasiskan ekosistem pada kondisi yang seimbang, menjanjikan tidak ada kerusakan lingkungan, tidak ada degradsi, tidak ada kekeringan dan banjir. Jika SDA dikelola berdasarkan ekosistem, maka akan terwujud kondisi itu," katanya.
Turut hadir dalam acara konsultasi publik ini, Direktur Bina Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial Ditjen KSDAE, Kepala Bagian Hukum dan Kerjasama Teknik Setditjen KSDAE, perwakilan pemerintah daerah, akademisi, serta Unit Pengelolan Teknis (UPT) Ditjen KSDAE seluruh Indonesia.(*)
Penanggung jawab berita:
Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK,
Djati Witjaksono Hadi
- Masuk untuk komentar
- Daftar untuk komentar
